Sobat Belajar: Mendalami Pajak Karbon di Indonesia
Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa penerapan pajak karbon akan ditunda hingga tahun 2025. Sebenarnya apa itu pajak karbon? Pajak karbon adalah pajak yang akan dikenakan atas keluarnya emisi karbon dari suatu aktivitas yang memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Contohnya adalah penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara. Pemerintah telah membuat landasan hukum untuk pengenaan pajak karbon yaitu Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 Pasal 13 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan presiden nomor 98 tahun 2021 Pasal 58 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Namun, untuk aturan-aturan turunan seperti detail mekanisme pengenaan pajak karbon masih disusun dengan hati-hati, maka dari itu penerapan pajak karbon ini harus ditunda hingga tahun 2025.
Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 Pasal 13 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sudah mengatur beberapa hal seperti pengenaan pajak karbon yang nantinya akan dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup dengan tarif pajak akan mengikuti harga karbon di pasar dengan harga paling kecil sebesar Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Jadi nantinya setiap orang ataupun badan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan sebuah aktivitas yang menghasilkan emisi karbon akan dikenakan pajak karbon. Pengenaanya akan dikenakan saat pembelian barang, sedangkan jika melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon, maka akan dikenakan di akhir tahun kalender atau dapat dikenakan pada saat lainnya dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pada dasarnya setiap subjek pajak akan diberikan sebuah batasan emisi karbon. Jika aktivitas yang dilakukan melebihi batas pengenaan pajaknya, maka dapat menggunakan skema cap and trade atau cap and tax.
Batasan emisi karbon yang diberikan nantinya akan berbentuk sertifikat. Sertifikat ini dapat dijual belikan antara Wajib Pajak. Kedua sertifikat tersebut adalah Sertifikat Ijin Emisi (SIE) dan Sertifikat Penurunan Emisi (SPE/carbon offset). Jual beli sertifikat tersebut termasuk dalam cap and trade. Dan biasanya disebut instrumen perdagangan. Pada dasarnya instrumen perdagangan ini adalah pemindahtanganan hak atas karbon.
Jenis dari instrumen perdagangan:
- Jual Beli Sertifikat Ijin Emisi (Emission Trading System/ ETS)
Pabrik A dan Pabrik B diberikan jumlah batasan emisi karbon yang sama oleh pemerintah. Namun, diakhir tahun Pabrik A menghasilkan karbon kurang dari batasan emisi karbon, sedangkan Pabrik B menghasilkan karbon lebih dari batasan emisi karbon. Maka, Pabrik A dapat menjual “kelebihan” volume batasan emisi karbonnya ke Pabrik B.
- Jual kredit (Crediting Mechanism)
Pabrik A melakukan aktivitas penurunan emisi sehingga mendapatkan sertikat penurunan emisi. Pabrik B menghasilkan karbon lebih dari batasan emisi karbon. Pabrik A dapat menjual sertifikat penurunan emisi ke Pabrik B.
Selain instrumen perdagangan ada juga instrumen non perdagangan. Instrumen non perdagangan adalah sebuah bentuk kompensasi yang diterima jika melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Jenis dari instrumen non perdagangan
- Pungutan atas karbon
Sebuah kompensasi yang diberikan ke Wajib Pajak yang berhasil melakukan aksi mitigasi untuk menurunkan emisi di tempat lain. Nantinya, kompensasi akan diberikan pada tempat Wajib Pajak menghasilkan efek gas rumah kaca.
- Pembayaran Berbasis Hasil (Result Based Payment/RBP)
Pembayaran yang diberikan atas keberhasilan Wajib Pajak dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari aktivitas menghasilkan emisi karbon melalui aksi mitigasi tertentu.
Dengan penerapan pajak karbon, pemerintah berharap dapat mengurangi emisi karbon yang dapat menyebabkan kerusakan alam. Selain itu, pemerintah juga berharap dapat menambah pemasukan negara melalui pajak yang nantinya dapat digunakan untuk pembangunan, seperti pembangkit listrik yang ramah lingkungan, memberikan subsidi untuk energi yang terbarukan, adaptasi dari perubahan iklim yang terjadi dan mitigasi atas perubahan iklim yang akan datang.
Contoh
Pabrik A memiliki batas atas emisi sebesar 5.500.000 tCO2. Pada tahun itu, pabrik A menghasilkan karbon sebesar 5.800.000 tCO2 dalam setahun.
Perhitungan Pajak Karbonnya
- Jika tidak melakukan pembelian sertifikat
DPP = Total Emisi Gas Rumah Kaca – Batas atas emisi
DPP = 5.8000.000 tCO2 – 5.500.000 tCO2
DPP = 300.000 tCO2
Pajak terutang = DPP X tarif pajak
Pajak terutang = 300.000 tCO2 X Rp 30.000/tCO2
Pajak terutang = Rp 9.000.000.000
Pajak yang harus dibayar = Rp 9.000.000.000
- Jika melakukan pembelian sertifikat dengan nilai sama dengan kelebihan
DPP = Total Emisi Gas Rumah Kaca –Batas atas emisi
DPP = 5.8000.000 tCO2 – 5.500.000 tCO2
DPP = 300.000 tCO2
Pajak terutang = DPP X tarif pajak
Pajak terutang = 300.000 tCO2 X Rp 30.000/tCO2
Pajak terutang = Rp 9.000.000.000
Pengurangan = 300.000 tCO2 X Rp 30.000/tCO2
Pengurangan = Rp 9.000.000.000
Pajak yang harus dibayar = Pajak terutang – Pengurangan
Pajak yang harus dibayar = Rp 9.000.000.000 - Rp 9.000.000.000
Pajak yang harus dibayar = Rp 0
- Jika melakukan pembelian sertifikat dengan nilai setengah dari kelebihan
DPP = Total Emisi Gas Rumah Kaca – Batas atas emisi
DPP = 5.8000.000 tCO2 – 5.500.000 tCO2
DPP = 300.000 tCO2
Pajak terutang = DPP X tarif pajak
Pajak terutang = 300.000 tCO2 X Rp 30.000/tCO2
Pajak terutang = Rp 9.000.000.000
Pengurangan = 150.000 tCO2 X Rp 30.000/tCO2
Pengurangan = Rp 4.500.000.000
Pajak yang harus dibayar = Pajak terutang – Pengurangan
Pajak yang harus dibayar = Rp 9.000.000.000 - Rp 4.500.000.000
Pajak yang harus dibayar = Rp 4.500.000.000
Itulah sedikit penjelasan mengenai pajak akan karbon di Indonesia. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Sobat sekalian ya!
Jika Sobat ingin mencari informasi lainnya terkait UMKM, perpajakan, dan berita terkini, silahkan kunjungi website kami di Sobat Buku dan Sobat Pajak, atau melalui media sosial kami di Instragram dan Facebook.